DOKTER PEJUANG MASA REVOLUSI
Sebagai
pemimpin militer dengan jabatan Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera
Timur Selatan pada awal revolusi, dr. Ferdinand Lumban Tobing turun
memimpin perjuangan gerilya di hutan-hutan.
Ferdinand
Lumban Tobing adalah seorang pejuang kemerdekaan yang berlatar belakang
profesi dokter. Ketidaksenangannya terhadap kolonial yang sudah lama
tersimpan dalam hati Ferdinand mencapai puncaknya tatkala Ferdinand
melihat penderitaan saudara sebangsanya diperlakukan tidak manusiawi di
zaman kerja paksa (romusha) yang diberlakukan pemerintah pendudukan
Jepang. Saat itu ia protes terhadap pemerintah pendudukan Jepang, protes
yang mengakibatkan dirinya menjadi target pembunuhan tentara Jepang.
Dalam
sejarah perjuangannya, putra bangsa kelahiran Tapanuli ini lebih banyak
tercatat pada zaman pendudukan Jepang dan zaman revolusi kemerdekaan,
yakni perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari upaya Belanda merebut
kembali Republik Indonesia, peristiwa yang lebih sering dikenal dengan
istilah Agresi Militer Belanda.
Ferdinand Lumban
Tobing dilahirkan di Sibuluan, Sibolga, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara,
pada 19 Februari 1899. Namun, berhubung keluarganya pindah ke Pulau
Jawa, masa remaja pun dilalui Ferdinand di Pulau Jawa. Bahkan,
pendidikan dasar pun dijalani dan diselesaikannya di Depok, Bogor, Jawa
Barat.
Selepas sekolah dasar, ia melanjutkan
pendidikan Sekolah Dokter di Jakarta yang di zaman kolonial Belanda
benama STOVIA. Setamat dari STOVIA pada tahun 1924, ia bekerja sebagai
dokter bagian penyakit menular di rumah sakit CBZ, sekarang bernama
Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Selama
menjalani profesi sebagai dokter, Ferdinand sering dipindah-pindah.
Beberapa tahun bekerja di RSCM, ia kemudian dipindahkan ke Tenggarong,
Kalimantan Timur. Dari Tenggarong ia kemudian dipindah ke Surabaya, Jawa
Timur. Di Surabaya, beliau menjalani tugas sampai tahun 1935 sebelum
kemudian dipindahkan lagi ke daerah Tapanuli, tanah kelahirannya. Di
daerah Tapanuli sendiri beliau pertama-tama ditempatkan di Padang
Sidempuan, kemudian dipindahkan ke Sibolga.
Bersamaan
saat Ferdinand bertugas di Sibolga, Perang Dunia II sedang berkobar. Di
Indonesia sendiri, pasukan pendudukan Belanda mengalami kekalahan dari
pasukan Jepang. Sehingga, bangsa Indonesia yang tadinya merupakan koloni
Belanda kemudian digantikan oleh Jepang.
Sesuai
pengakuan Jepang sebelumnya, sebagai sesama Asia mereka datang menolong
bangsa Indonesia mengusir pasukan Belanda yang notabene berkulit putih
alias Eropa, maka di awal kemenangan Jepang, rakyat Indonesia juga
merasa senang dengan kemenangan tersebut dan berpikir telah terbebas
dari penjajahan. Namun kemerdekaan yang diimpikan rupanya hanya sebuah
fatamorgana. Ucapan Jepang hanyalah omong kosong.
Jepang
ternyata tidak berbeda dengan bangsa Belanda maupun bangsa imperialis
lainnya, ingin menguasai bangsa Indonesia. Bahkan, kekejaman tentara
Jepang melebihi tentara Belanda. Semua pria dewasa diwajibkan romusha,
yakni kerja paksa untuk mengerjakan pembukaan jalan, membuat benteng dan
lain-lain tanpa diupah. Hasil pertanian dan ternak rakyat dirampas
dengan paksa tanpa ganti rugi. Barang siapa yang tidak menuruti perintah
dihukum penjara, kerja paksa, dibuang, bahkan dibunuh atau hukuman
mati.
Di era pendudukan Jepang ini, dokter
Ferdinand Lumban Tobing bertugas sebagai dokter pengawas kesehatan
romusha. Karena itu, ia menyaksikan dengan jelas bagaimana para romusha
(pekerja paksa) - yang ketika itu membuat benteng di Teluk Sibolga -
diperlakukan tidak manusiawi oleh tentara Jepang. Dengan perasaan sedih
beliau seakan dipaksa menonton kesengsaraan yang dialami saudara-saudara
sebangsanya sendiri. Hatinya tidak sanggup menerima. Beliau pun
melancarkan protes terhadap pemerintah Jepang. Namun akibatnya, beliau
dicurigai dan menjadi salah seorang terpelajar Tapanuli yang menjadi
target yang akan dibunuh Jepang.
Sebagai dokter,
beliau seorang profesional murni. Hatinya tidak sanggup membiarkan orang
yang sedang membutuhkan keahliannya menderita, sekalipun itu orang yang
tidak disukainya. Maka tatkala seorang tentara Jepang jatuh dari
kendaraan, dokter Ferdinand ini pun menyelamatkan nyawa tentara tersebut
dengan mengobatinya semaksimal mungkin hingga sembuh. Melihat
pertolongan yang diberikannya, tentara Jepang pun mengurungkan niat
mengejar dan membunuh Ferdinand.
Di pentas
politik, dokter Ferdinand termasuk seorang yang berhasil. Pada tahun
1943 saat masih di zaman pendudukan Jepang, beliau sudah diangkat
menjadi Ketua Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Daerah) Tapanuli, di
samping sebagai anggota Cuo Sangi In.
Pada tahun
1945, sejarah dunia tercatat, Perang Dunia kedua berakhir. Jepang
menyerah kepada pasukan sekutu. Dengan demikian, pemerintahan pendudukan
Jepang di Indonesia pun dipaksa meninggalkan tanah Indonesia.
Kesempatan emas tersebut tidak disia-siakan para pemimpin bangsa
Indonesia, kemerdekaan Indonesia pun diproklamirkan pada 17 Agustus
1945. Di awal kemerdekaan ini, Ferdinand Lumban Tobing diangkat jadi
Residen Tapanuli, sejak bulan Oktober 1945.
Namun
sebagaimana tercatat dalam sejarah, Pemerintah Kerajaan Belanda tidak
mengakui kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada
tanggal 17 Agustus 1945 tersebut. Mereka masih berusaha merebut kembali
Indonesia yang sebelumnya merupakan daerah jajahannya dengan melancarkan
serangan-serangan militer yang lebih dikenal dengan istilah Agresi
Militer I dan II Belanda.
Pada awal revolusi
inilah perjuangan Ferdinand semakin nyata dalam mempertahankan
kemerdekaan negeri yang sangat dicintainya. Sebagai seorang Residen,
beliau ketika itu benar-benar menghadapi suatu situasi yang sangat
sulit. Beliau harus menyaksikan dan membiarkan putra-putra daerah
keresidenannya, Tapanuli berperang bersabung nyawa melawan saudara
sebangsanya sendiri dari Sumatera Timur. Ketika itu, daerah Sumatera
Timur yang sebelumnya telah jatuh ke tangan Belanda dalam Agresi Militer
I Belanda, maju memerangi Tapanuli.
Kecintaan
akan kemerdekaan negerinya ditambah pendirian yang teguh, tegas dan tak
mudah digertak menjadi modal perjuangan Ferdinand Lumban Tobing. Dengan
semangat perjuangan yang berkobar dan tak takut mati, maka pada Agresi
Militer II Belanda, dengan tanpa ragu sedikitpun Ferdinand bersedia
diangkat menjadi Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan.
Dan sebagai pemimpin militer, ia pun harus turun di barisan depan,
memimpin perjuangan gerilya di hutan-hutan, naik gunung turun gunung.
Perjuangan
ternyata tidak sia-sia, berkat perjuangan seluruh bangsa Indonesia di
pusat maupun di daerah, baik yang berjuang di bidang politik,
diplomatik, pendidikan, angkat senjata maupun cara lainnya, akhirnya
kedaulatan Republik Indonesia diakui oleh dunia internasional. Pasca
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, dr. Ferdinand Lumban Tobing
ditawari menjadi Gubernur Provinsi Sumatera Utara tapi ditolak oleh
Ferdinand. Namun pada Kabinet Ali I (Juli 1953-Juli 1955) ia bersedia
menjadi Menteri Penerangan dan Menteri Kesehatan (ad interim). Kemudian,
ia juga pernah menjadi Menteri Urusan Hubungan Antar Daerah, dan
terakhir menjabat Menteri Negara Urusan Transmigrasi.
Pada
usia 63 tahun, tepatnya pada 7 Oktober 1962, beliau meninggal dunia di
Jakarta. Sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, beliau layaknya
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tapi atas permintaan keluarga,
jenazahnya dimakamkan di tanah kelahirannya di Kolang, Sibolga.
Dr.
Ferdinand Lumban Tobing dikagumi dan dikenang banyak orang karena
perhatiannya yang sangat besar terhadap orang kecil, seperti para
romusha di zaman pendudukan Jepang. Dalam membela dan berbuat baik
kepada orang kecil tersebut, terlihat bahwa dr Ferdinand tanpa pamrih.
Mengingat
jasa-jasa dr. Ferdinand Lumban Tobing dalam perjuangan kemerdekaan,
maka atas nama negara, pemerintah menganugerahkan gelar kehormatan
kepada beliau sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan
tersebut disahkan dengan SK Presiden Republik Indonesia No.361 Tahun
1962, tanggal 17 Nopember 1962.
2 Komentar