BAPAK BANGSA SEJATI
Hatta lahir dari keluarga ulama Minangkabau, Sumatra Barat. Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu, Bukittinggi, dan kemudian pada tahun 1913-1916 melanjutkan studinya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya beliau telah lulus ujian masuk ke HBS (setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta melanjutkan studi ke MULO di Padang, baru kemudian pada tahun 1919 beliau pergi ke Batavia untuk studi di HBS. Beliau menyelesaikan studinya dengan hasil sangat baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Erasmus Universiteit). Di Belanda, ia kemudian tinggal selama 11 tahun.
Saat
masih di sekolah menengah di Padang, Bung Hatta telah aktif di
organisasi, antara lain sebagai bendahara pada organisasi Jong
Sumatranen Bond cabang Padang.
Pada
tangal 27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar kehormatan
akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas
Gadjah Mada di Yoyakarta. Pidato pengukuhannya berjudul “Lampau dan
Datang”.
Saat berusia
15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai
bendahara Jong Sumatranen Bond Cabang Padang. Kesadaran politik Hatta
makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau
pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi
idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis.
Pada
usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas
berangkat ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang
Prins Hendrik School. Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond
Pusat, juga sebagai Bendahara.
Hatta
mulai menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera bergabung
dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah
tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische
Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan
pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische
Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi
Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada
1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De
Expres.
Perjuangan
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.
Kesadaran
politik Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri
ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh
politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. “Aku
kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan
suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai
saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik
perhatian dan membakar semangat,” aku Hatta dalam Memoir-nya. Itulah
Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam;
anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem
Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan.
Pada
usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas
ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang
Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai aktif menulis. Karangannya
dimuat dalam majalah Jong Sumatera, “Namaku Hindania!” begitulah
judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin
lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan,
datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian
meminangnya. “Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai
hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta
lewat Hindania.
Pemuda
Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan,
pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh
pergerakan asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan
temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan Bahder
Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka
bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah air. Pokok soal
yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal memajukan bahasa
Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah.
Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya.
Antara mereka berdua sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan
mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan
Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena
berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi
dalam Memoir-nya.
Selama
menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan
percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta
berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika
pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki
yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of
Europe) memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris.
Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan
untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian
khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang mengutip
tulisan-tulisan Hatta.
Hatta
mulai menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera bergabung
dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah
tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische
Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan
pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische
Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi
Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada
1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De
Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena Suwardi Suryaningrat (Ki
Hadjar Dewantara) menginisiasi penerbitan majalah Hindia Poetra oleh
Indische Vereeniging mulai 1916. Hindia Poetra bersemboyan “Ma’moerlah
Tanah Hindia! Kekallah Anak-Rakjatnya!” berisi informasi bagi para
pelajar asal tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak ketinggalan
pula tersisip kritik terhadap sikap kolonial Belanda.
Di
Indische Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau ini tak lagi
tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging berisi
aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula, nama Indische
–meski masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah, yakni
gugusan kepulauan di Nusantara yang secara politis diikat oleh sistem
kolonialisme belanda. Dari sanalah mereka semua berasal.
Hatta
mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922,
lagi-lagi, sebagai Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19
Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging.
Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra. Momentum
suksesi kala itu punya arti penting bagi mereka di masa mendatang, sebab
ketika itulah mereka memutuskan untuk mengganti nama Indische
Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti
nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang
sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang anggota
Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita mulai
membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie.
Pada
tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan
Kolonialisme di Belanda, dan di sinilah ia bersahabat dengan nasionalis
India, Jawaharlal Nehru. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan
Hatta ditangkap pemerintah Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah
melakukan pidato pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free.
Pada
tahun 1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi
Club Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran
politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda
kembali menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan
Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul
dan kemudian ke Banda selama 6 tahun.
Pada tahun 1945, Hatta secara aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama Bung Karno yang menjadi presiden RI.
0 Komentar