PEMBONGKAR KONSPIRASI PKI - RRC
Keberhasilan Mayor Jenderal Anumerta D.I. Panjaitan membongkar rahasia kiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk Partai Komunis Indonesia (PKI) serta penolakannya terhadap rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani, membuat dirinya masuk daftar salah satu perwira Angkatan Darat yang dimusuhi oleh PKI. Kebencian PKI itu kemudian berujung pada aksi penculikan serta pembunuhan dirinya saat pemberontakan Gerakan 30 September 1965.
Pria
kelahiran Balige, Tapanuli yang bernama lengkap Donald Isac Panjaitan,
ini masuk militer pada jaman pendudukan Jepang. Setelah lebih dulu
mengikuti latihan Gyugun, ia selanjutnya ditugaskan di Gyugun Pekanbaru,
Riau. Setelah kemerdekaan RI, ia merupakan salah seorang pembentuk
Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Di
TKR, ia mengawali kariernya sebagai komandan batalyon, selanjutnya ia
sering berpidah tugas. Setelah Indonesia memperoleh pengakuan
kedaulatan, ia diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara &
Teritorial (T&T) I/Bukit Barisan di Medan. Ia juga pernah bertugas
sebagai Atase Militer di Bonn, Jerman. Terakhir ia bertugas sebagai
Asisten IV Menteri/ Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) ketika
peristiwa sadis itu menimpa dirinya.
Panjaitan
lahir di Balige, Tapanuli, 9 Juni 1925. Pendidikan formal diawali dari
Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di
Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia
sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi anggota
militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia
ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya.
Ketika
Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya
membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di
TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian
menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun
1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen
Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya
yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Seiring
dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun
memperoleh pengakuan kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat
menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit
Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi
Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.
Setelah
mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan
sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya
telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun
tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah
menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika
Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat
(Men/Pangad). Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G
30/S PKI terjadi.
Ketika
menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas
keberhasilannya membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik
Rakyat Cina (RRC) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata
tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai
dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces).
Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan
persiapan melancarkan pemberontakan.
Penganut
Kristen ini, terkenal sangat taat beragama. Karenanya, dia juga salah
satu perwira di jajaran TNI AD yang tidak menyukai PKI sekaligus yang
menolak pembentukan Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani
sesuai rencana PKI. Dan karena itulah dirinya dimusuhi dan dibunuh oleh
PKI.
Dengan
bertameng alasan dipanggil oleh Panglima Tertinggi Presiden Soekarno,
tujuh perwira tinggi TNI AD, pada malam 30 September atau pagi dinihari
tanggal 1 Oktober 1965 hendak diculik oleh sekelompok berpakaian
Pengawal Presiden yang kemudian diketahui adalah pasukan PKI. Enam
perwira tinggi itu berhasil diculik, namun Jenderal A.H. Nasution
berhasil lolos tapi puteri dan ajudannya menjadi korban peristiwa itu.
Mayjen
Anumerta D.I. Panjaitan yang malam dinihari itu merasa heran akan
pemanggilan mendadak itu. Namun karena loyalitasnya pada pimpinan
tertinggi militer, Presiden Soekarno, ia pun berangkat namun terlebih
dahulu berpakaian resmi. Namun firasatnya yang tajam sepertinya
merasakan bahaya yang sedang terjadi. Sebelum memasuki mobilnya, dengan
berdiri di samping mobil ia lebih dulu memohon doa kepada Tuhan. Namun
belum selesai menutup doanya, pasukan PKI sudah memberondongnya dengan
peluru.
Ia
bersama enam perwira lainnya, lima diantaranya perwira tinggi yakni:
Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta Suprapto;
Letjen.TNI Anumerta S Parman; Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono; Mayjen.
TNI Anumerta Sutoyo S; dan satu perwira pertama, ajudan Jenderal
Nasution yakni Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean pada malam itu
gugur sebagai bunga bangsa demi mempertahankan ideologi Pancasila.
Pencarian
yang dilakukan di bawah pimpinan Soeharto (Mantan Presiden RI yang
waktu itu menjabat sebagai Pangkostrad), ditemukanlah jenazah Panjaitan
di Lubang Buaya, terkubur massal di dalam satu sumur tua yang tidak
dipakai lagi bersama enam perwira lainnya. Ia gugur sebagai Pahlawan
Revolusi, kemudian dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Sebagai
penghargaan atas jasa-jasanya, pangkatnya yang sebelumnya masih Brigadir
Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Mayor Jenderal.
Kini di Lubang Buaya, Jakarta Timur di depan sumur tua tempat jenazah
ditemukan, berdiri Tugu Kesaktian Pancasila sebagai tugu peringatan atas
peristiwa itu. Dan pada era pemerintahan Soeharto ditetapkanlah tanggal
1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus
sebagai hari libur nasional.
source: http://www.pendongeng.com/biografi-pahlawan-indonesia/460-pahlawan-revolusi-mayjen-anumerta-di-panjaitan-1925-1965.html
0 Komentar