SETIA PADA PANCASILA
Kata orang bijak, fitnah lebih kejam daripada membunuh. Dan apa yang dilakukan oleh PKI pada tujuh perwira pada malam 30 September 1965 jauh lebih kejam lagi. Setelah memfitnah dengan menyebutkan bahwa para Jenderal itu telah bekerjasama dengan satu negara luar untuk menjatuhkan Presiden Soekarno, PKI juga menculik dan membunuh perwira-perwira tersebut secara sadis dan biadab. Letjen. Anumerta S. Parman yang waktu itu menjabat sebagai Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat termasuk salah satu dari ketujuh perwira tersebut.
Pria
kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah ini merupakan perwira intelijen,
sehingga banyak tahu tentang kegiatan rahasia PKI karena itulah dirinya
termasuk salah satu di antara para perwira yang menolak rencana PKI
untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani.
Penolakan yang membuatnya dimusuhi dan menjadi korban pembunuhan PKI.
Perwira
yang gugur sebagai Pahlawan Revolusi ini lahir di Wonosobo, Jawa
Tengah, 4 Agustus 1918. Pendidikan umum yang pernah diikutinya adalah
sekolah tingkat dasar, sekolah menengah, dan Sekolah Tinggi Kedokteran.
Namun sebelum menyelesaikan dokternya, tentara Jepang telah menduduki
Republik sehingga gelar dokter pun tidak sampai berhasil diraihnya.
Setelah
tidak bisa meneruskan sekolah kedokteran, ia sempat bekerja pada
Jawatan Kenpeitai. Di sana ia dicurigai Jepang sehingga ditangkap, namun
tidak lama kemudian dibebaskan kembali. Sesudah itu, ia malah dikirim
ke Jepang untuk mengikuti pendidikan pada Kenpei Kasya Butai.
Sekembalinya ke tanah air ia kembali lagi bekerja pada Jawatan
Kempeitai.
Awal
kariernya di militer dimulai dengan mengikuti Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) yaitu Tentara RI yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan.
Pada akhir bulanDesember, tahun 1945, ia diangkat menjadi Kepala Staf
Markas Besar Polisi Tentara (PT) di Yogyakarta.
Selama
Agresi Militer II Belanda, ia turut berjuang dengan melakukan perang
gerilya. Pada bulan Desember tahun 1949 ia ditugaskan sebagai Kepala
Staf Gubernur Militer Jakarta Raya. Salah satu keberhasilannya saat itu
adalah membongkar rahasia gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang
akan melakukan operasinya di Jakarta di bawah pimpinan Westerling.
Selanjutnya, pada Maret tahun 1950, ia diangkat menjadi kepala Staf G.
Dan setahun kemudian dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti
pendidikan pada Military Police School.
Sekembalinya
dari Amerika Serikat, ia ditugaskan di Kementerian Pertahanan untuk
beberapa lama kemudian diangkat menjadi Atase Militer RI di London pada
tahun 1959. Lima tahun berikutnya yakni pada tahun 1964, ia diserahi
tugas sebagai Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad)
dengan pangkat Mayor Jenderal.
Ketika
menjabat Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) ini,
pengaruh PKI juga sedang marak di Indonesia. Partai Komunis ini merasa
dekat dengan Presiden Soekarno dan sebagian rakyat pun sudah
terpengaruh. Namun sebagai perwira intelijen, S. Parman sebelumnya sudah
banyak mengetahui kegiatan rahasia PKI. Maka ketika PKI mengusulkan
agar kaum buruh dan tani dipersenjatai atau yang disebut dengan Angkatan
Kelima. Ia bersama sebagian besar Perwira Angkatan Darat lainnya
menolak usul yang mengandung maksud tersembunyi itu. Dengan dasar itulah
kemudian dirinya dimusuhi oleh PKI.
Maka
pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965,
dirinya menjadi salah satu target yang akan diculik dan dibunuh. Dan
pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta S. Parman
bersama enam perwira lainnya yakni Jend. TNI Anumerta Achmad Yani;
Letjen. TNI Anumerta Suprapto; Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono;
Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan
Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh
secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah
Lubang Buaya tanpa prikemanusiaan.
S.
Parman gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan Pancasila.
Bersama enam perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan
Kalibata. Pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian
dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal sebagai penghargaan atas
jasa-jasanya.
Untuk menghormati jasa para pahlawan tersebut, oleh pemerintah Orde
Baru ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari
Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Dan di daerah
Lubang Buaya, Jakarta Timur, di depan sumur tua tempat jenazah
ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh Pahlawan
Revolusi tersebut. Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.
source: http://www.pendongeng.com/biografi-pahlawan-indonesia/461-pahlawan-revolusi-letjen-anumerta-s-parman-1918-1965.html
0 Komentar