PENGGAGAS AKABRI
Tentara yang aktif dalam tiga zaman ini pernah menjadi Tentara Hindia Belanda (KNIL) pada masa pendudukan Belanda, anggota Pembela Tanah Air (Peta) pada masa pendudukan Jepang dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setelah kemerdekaan Indonesia serta turut menumpas PKI pada tahun 1948. Ia juga menjadi penggagas terbentuknya Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI).
Berpendirian tegas dan memiliki solidaritas yang tinggi, merupakan ciri
khas dari Jenderal Gatot Subroto. Pria lulusan Sekolah Militer Magelang
masa pemerintahan Belanda, ini paling tidak bisa mentolerir setiap
tindak kezaliman, walau oleh siapapun dan kapanpun.
Maka
tidak heran apabila pada masa mudanya sudah berani melawan anak
Belanda. Bahkan ketika bertugas di militer, berani menentang tentara
Belanda atau Jepang yang bertindak kasar. Namun sebaliknya, dia selalu
menunjukkan solidaritas yang tinggi kepada kaum yang lemah dan
tertindas. Dia tidak jarang membantu keluarga hukuman dengan menyisihkan
sebagian dari gajinya.
Pria berkumis tebal yang lahir di Banyumas 10 Oktober 1909, ini sejak
anak-anak sudah menunjukkan watak seorang pemimpin. Dia memiliki
keberanian, ketegasan, tanggung jawab, dan berpantang akan kesewenangan.
Pengalaman tidak manis pernah dialaminya ketika masih bersekolah di
Europeesche Lagere School (ELS).
Karena berkelahi dengan seorang anak Belanda, dia akhirnya dikeluarkan
dari sekolah tersebut. Kasus itu sudah cukup menunjukkan bahwa sejak
kecil dirinya sudah memiliki sifat pemberani dan tegas. Di kala orang
tidak ada yang berani menantang anak-anak Belanda yang merasa lebih
tinggi derajatnya dari kaum pribumi, Gatot Subroto dengan tanpa gentar
sedikitpun maju menantang.
Dikeluarkan dari sekolah ELS dia kemudian masuk ke sekolah Holands
Inlandse School (HIS). Dari sana, dia akhirnya menyelesaikan pendidikan
formalnya. Namun setamat HIS, dia memilih tidak meneruskan pendidikannya
ke sekolah yang lebih tinggi, tetapi bekerja sebagai pegawai.
Namun
pilihannya menjadi pegawai tersebut ternyata juga tidak memuaskan
jiwanya. Dia kemudian keluar dari pekerjaanya dan masuk sekolah militer
di Magelang pada tahun 1923. Setelah menyelesaikan pendidikan militer,
Gatot pun menjadi anggota KNIL (Tentara Hindia Belanda) hingga akhir
pendudukan Belanda di Indonesia.
Ketika Perang Dunia ke II bergolak, pasukan Belanda berhasil
ditaklukkan pasukan Jepang. Indonesia yang sebelumnya merupakan daerah
pendudukan Belanda beralih jadi kekuasaan pemerintah Kerajaan Jepang.
Pada masa Pendudukan Jepang ini, Gatot pun langsung mengikuti pendidikan
Tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yakni pendidikan dalam rangka
perekrutan tentara pribumi oleh pemerintahan Jepang di Indonesia. Tamat
dari pendidikan Peta, dia diangkat pemerintah Jepang menjadi komandan
kompi di Sumpyuh, Banyumas dan tidak berapa lama kemudian dinaikkan
menjadi komandan batalyon.
Kesertaan Gatot Subroto menjadi anggota KNIL maupun Peta tidaklah
mengindikasikan dirinya seorang kaki tangan pihak kolonial atau jiwa
kebangsaannya yang rendah. Tapi hal itu hanyalah sebatas pekerjaan yang
sudah lumrah zaman itu. Jiwa kebangsaan Gatot Subroto tetap tinggi. Di
dalam menjalankan tugasnya sebagai tentara pendudukan, perlakuannya
sering terlihat memihak kepada rakyat kecil.
Perlakuan
itu bahkan sering diketahui atasannya sehingga dia sering mendapat
teguran. Bahkan karena begitu tebalnya perhatian dan solider terhadap
kaumnya, sering sebagian dari gajinya disumbangkan untuk membantu
keluarga orang hukuman yang ada di bawah pengawasannya. Begitu juga
halnya pada masa pendudukan Jepang, dia sering menentang orang Jepang
yang bertindak kasar terhadap anak buahnya.
Terhadap bawahannya, Gatot juga terkenal sebagai seorang pimpinan yang
sangat perhatian. Namun walaupun begitu, sebagai militer, tanpa pandang
bulu dia juga sangat tegas terhadap anak buahnya yang melanggar
disiplin.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Gatot langsung masuk Tentara Keamanan
Rakyat (TKR), tentara bentukan pemerintah Indonesia sendiri dan
merupakan tentara resmi RI yang dalam perjalanannya kemudian berganti
nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sejak
kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan kemerdekaan RI atau pada masa
Perang Kemerdekaan yakni antara tahun 1945-1950, dia dipercayai memegang
beberapa jabatan penting. Pernah dipercaya menjadi Panglima Divisi II,
Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah Surakarta dan
sekitarnya.
Bersamaan di saat dirinya menjabat Gubernur Militer Daerah Surakarta
dan sekitarnya, pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun pun
bergolak yakni pada bulan September 1948. Pemberontakan yang didalangi
oleh Muso itu akhirnya berhasil diatasi dengan gemilang.
Setelah banyak terjadi peristiwa dalam mempertahankan kemerdekaan dari
agresi militer Belanda, pengakuan kedaulatan republik ini pun berhasil
diperoleh. Pasca pengakuan kedaulatan itu, Gatot Subroto semakin
dipercaya mengemban tugas yang lebih tinggi. Dia diangkat menjadi
Panglima Tentara & Teritorium (T & T) IV I Diponegoro.
Namun karena sesuatu hal pada tahun 1953, dia sempat mengundurkan diri
dari dinas militer. Namun tiga tahun kemudian dia diaktifkan kembali
sekaligus diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad).
Di kalangan militer, dia dikenal sebagai seorang pimpinan yang
mempunyai perhatian besar terhadap pembinaan perwira muda. Menurutnya,
salah satu cara untuk membina perwira muda adalah dengan menyatukan
akademi militer setiap angkatan yakni Angkatan Darat, Laut, dan Udara,
menjadi satu akademi. Gagasan tersebut akhirnya terwujud dengan
terbentuknya Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI).
Gatot Subroto akhirnya meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 11 Juni
1962, pada usia 55 tahun. Sang Jenderal ini dimakamkan di desa
Mulyoharjo, Ungaran, Yogyakarta. Atas jasa-jasanya yang begitu besar
bagi negara, seminggu setelah kematiannya, Jenderal Gatot Subroto
dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang dikuatkan dengan
SK Presiden RI No.222 Tahun 1962, tgl 18 Juni 1962.
0 Komentar